NUTRISI DAN DIET UNTUK ODHA
sumber http://zubairidjoerban.org
Penatalaksanaan nutrisi sekarang sudah menjadi bagian integral dalam
pengobatan pasien dengan HIV/AIDS. Semakin banyak bukti yang menunjukkan
bahwa perbaikan nutrisi akan memperbaiki juga kondisi kesehatan odha
(orang dengan HIV/AIDS).
Odha perlu memperoleh pendidikan kesehatan yang terkait dengan
nutrisi mengenai beberapa aspek, antara lain :
- Prinsip diet sehat,
- Bagaimana menjaga agar kondisi otot tubuh tetap normal, dan bagaimana
prinsip pengobatan wasting syndrome,
- Manajemen interaksi
obat dan makanan,
- Managemen gejala gastrointestinal yang
mempengaruhi asupan jumlah dan jenis makanan,
- Bagaimana menyikapi
dengan benar masalah suplemen herbal dan suplemen nutrisi,
- Budaya
yang berhubungan dengan makanan,
- Nutrisi sewaktu odha hamil,
- Susu formula untuk bayi baru lahir,
- Timbulnya hiperglikemia dan
kelainan lipid yang dapat meningkatkan risiko diabetes, penyakit jantung
dan stroke.
Nutrisi yang baik diperlukan untuk menjaga sistem imun odha tetap
kuat. Selain itu nutrisi yang baik juga dapat membantu proses tubuh
dalam memetabolisir obat-obatan yang dikonsumsi odha. Pemberian nutrisi
yang baik, dengan demikian, akan meminimalisir penyakit-penyakit yang
terkait dengan HIV/AIDS, sehingga frekuensi dan lama rawat inap di rumah
sakit akan jauh berkurang dan kualitas hidup odha pun meningkat.
Selain membantu pemulihan sel-sel kekebalan tubuh dan mendukung
ketahanan tubuh dalam menghadapi pengobatan, makan juga memiliki efek
psikologis, yaitu odha akan merasa nyaman dan berpikiran positif. Jika
makan bersama teman akan baik untuk kesehatan emosinya. Karena itu,
nutrisi merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam
penatalaksanaan orang dengan HIV/AIDS.
Malnutrisi Pada Odha
Sebagian besar pasien HIV/AIDS di Indonesia mengalami malnutrisi. Bahkan sebagian sudah masuk dalam kategori wasting syndrome,
yaitu suatu keadaan di mana pasien kehilangan berat badan > 10% atau
mempunyai indeks massa tubuh <20kg/m2 sejak kunjungan terakhir atau
kehilangan berat badan >5% dalam waktu enam bulan dan kondisi ini
bertahan selama satu tahun.
Infeksi HIV mempunyai implikasi bermakna terhadap status nutrisi
odha. Infeksi HIV di antaranya menyebabkan ketidakmampuan mengabsorpsi
zat gizi dan makanan, perubahan metabolisme, serta berkurangnya asupan
makanan akibat gejala-gejala yang terkait HIV. Sebaliknya, nutrisi yang
buruk meningkatkan kerentanan dan derajat berat infeksi oportunistik.
Nutrisi yang buruk juga akan mengurangi efikasi mengobatan dan kepatuhan
minum obat, dan dapat mempercepat progresivitas penyakit.
Selain masalah nutrisi klasik, sejak diberikannya terapi antiretroviral (highly active antiretroviral therapy, HAART)
pada odha, mulai timbul masalah-masalah nutrisi baru, yang akan dibahas
kemudian. Keberhasilan terapi antiretroviral terbukti menurunkan
morbiditas dan mortalitas pada odha. Namun, seperti mata uang,
pengobatan juga selalu mempunyai dua sisi. Masalah-masalah dalam bidang
gizi adalah mulai munculnya lipodistrofi (pengumpulan lemak di tempat
yang tidak wajar), hiperlipidemia, resistensi insulin, serta obesitas.
Sebuah studi kohort pada lebih dari 600 odha melaporkan bahwa 5% odha
laki-laki dan 20% odha perempuan mengalami obesitas.
Walaupun terapi antiretroviral telah memperlihatkan hasil yang sangat
baik dalam menurunkan angka infeksi oportunistik sehingga memperpanjang
masa tanpa gejala dan memperbaiki kualitas hidup odha, wasting syndrome tetap menjadi masalah dalam penatalaksanaan HIV/AIDS.
Defisiensi Nutrisi
Masalah nutrisi pada odha dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme
yang bekerja sendiri-sendiri atau saling mempengaruhi. Pada dasarnya,
masalah nutrisi tersebut disebabkan oleh ketidakseimbangan antara asupan
yang akan diubah menjadi energi, serta kebutuhan energi untuk
metabolisme tubuh.
Faktor penyebab timbulnya kondisi gizi yang buruk
pada odha adalah:
- Penurunan asupan makanan
- Malabsorbsi
gastrointestinal
- Peningkatan jumlah kebutuhan asupan makanan atau
katabolisme jaringan akibat berbagai infeksi oportunistik yang biasa
dialami odha, seperti TB, radang paru atau pnemonia, toksoplasma otal,
sariawan karena infeksi jamur, dan sebagainya.
- Masalah kemiskinan yang dialami oleh sebagian besar
odha, dan masalah penyalahgunaan obat.
Untuk diingat, pencegahan
malnutrisi dilakukan dengan cara memberikan diet tinggi kalori dan
tinggi protein. Tapi pada kenyataannya protein dan serat—yang berasal
dari sayuran dan buah-buahan—jarang terpenuhi dalam menu harian pasien
HIV. Umumnya mereka masih mengutamakan konsumsi karbohidrat yang memang
lebih cepat menimbulkan rasa kenyang dan kenyamanan sesaat.
Konsumsi nutrien yang tidak adekuat adalah salah satu faktor yang
dapat menyebabkan kondisi gizi yang buruk. Beberapa faktor dapat
menyebabkan asupan makanan yang abnormal. Misalnya, inflamasi dan ulkus
pada saluran pencernaan bagian atas (dari mulut hingga esofagus) dapat
menyebabkan anoreksia akibat timbulnya rasa nyeri saat menelan atau
nyeri perut saat makan. Sebuah studi melaporkan bahwa sekitar 70% dari
saluran pencernaan bagian atas yang diperiksa dengan endoskopi
menunjukkan gambaran histologi yang abnormal. Lesi ini dapat disebabkan karena iritasi oleh asam lambung atau
infeksi, misalnya oleh jamur kandida, virus sitomegalo, atau virus
herpes simpleks. Ulserasi di mukosa mulut akibat virus atau idiopatik
juga sering terjadi sehingga menyebabkan nyeri sewaktu makan.
Penyakit pada pankreas dan saluran empedu juga menyebabkan
mual-muntah dan nyeri perut, sehingga asupan makanan menjadi berkurang.
Anoreksia primer, yang sering terjadi pada pasien kanker dan penyakit
kanker lainnya, pada akhirnya juga dapat berkontribusi terhadap asupan
makanan yang tidak adekuat.
Malabsorbsi dapat menyebabkan perubahan pada status gizi odha,
sehingga meskipun makanan yang dimakan sudah mencukupi, namun tidak
semua zat gizi dapat diserap oleh tubuh dengan efektif. Malabsorbsi
dapat terjadi dengan atau tanpa diare. Penyebabnya multifaktorial,
termasuk di antaranya adalah abnormalitas mukosa gastrointestinal yang
dapat disebabkan oleh infeksi HIV-nya sendiri, atau merupakan akibat
sekunder dari infeksi usus oleh agen lain. Apabila malabsorbsi tersebut
disertai dengan diare kronik, yang sering kali terjadi, maka jika tidak
ditangani dengan baik dapat menjadi predisposisi terjadinya malnutrisi
yang berat. Diare juga dapat merupakan efek samping dari obat-obatan,
seperti beberapa obat antiretroviral dan antibiotika.
Beberapa peneliti telah melaporkan adanya gangguan absorbsi
karbohidrat, protein, dan lemak pada odha, namun beratnya malabsorbsi
ternyata tidak berhubungan dengan derajat malnutrisi. Malabsorbsi
nutrien lain juga terjadi, seperti vitamin B12, asam folat, tiamin,
seng, selenium, kalsium, dan magnesium. Juga dapat terjadi malabsobsi
vitamin yang larut dalam lemak, terutama vitamin A dan D.
Peningkatan kebutuhan nutrisi dan laju katabolisme jaringan juga
dialami oleh sebagian odha, sebagaimana telah dikatakan sebelumnya.
Beberapa faktor yang dapat menyebabkannya adalah tingginya jumlah virus
HIV dalam darah, infeksi sekunder, serta gejala konstitusional seperti
demam dan keringat malam.
Infeksi virus kronik dapat berpengaruh terhadap penggunaan energi,
dan dapat menjadi predisposisi terhadap infeksi sekunder yang akan
mengubah pola penggunaan energi. Infeksi-infeksi tersebut dapat
meningkatkan atau mengubah pola penggunaan energi yang efektif pada
orang sehat menjadi abnormal. Oleh karena itu, pada odha peningkatan
penggunaan energi terutama terkait dengan jumlah virus HIV di dalam
darah serta adanya koinfeksi dan komorbiditas.
Nutrisi dan ARV
Obat antiretroviral yang diduga dapat menimbulkan masalah nutrisi
terutama adalah golongan penghambat protease. Obat golongan penghambat
protease yang selama ini beredar di Indonesia adalah nelvinafir, dan
baru-baru ini telah beredar atanazavir (Reyataz®).
Pemberian obat antiretroviral golongan penghambat protease dapat
menyebabkan akumulasi lemak tubuh yang abnormal (lipoatrofi dan
lipodistrofi), resistensi insulin perifer, serta kenaikan kolesterol,
trigliserida, dan glukosa darah. Distribusi lemak yang abnormal juga
ditemui pada pasien yang mendapat terapi non-penghambat protease seperti
golongan Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI), yaitu
stavudin dan zidovudin. Lipodistrofi lebih banyak terjadi pada odha yang
diberi stavudin (63%) dibandingkan zidovudin (18,75%). Sayangnya hingga
saat ini, studi-studi yang meneliti mengenai efek obat antiretroviral
terhadap peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler masih melaporkan
hasil yang saling berlawanan.
Obat penghambat protease diduga dapat berinteraksi dengan beberapa
protein sel yang terlibat pada metabolisme lipid karena adanya homologi
asam amino parsial antara protein-protein tersebut dan HIV-1 protease.
Obat golongan penghambat protease juga dapat berinteraksi dengan obat
antihiperlipidemik golongan statin. Ritonavir, dapat meningkatkan kadar
simvastatin serum sehingga dapat meningkatkan toksisitas yang terkait
dengan statin seperti mialgia, rhabdomiolisis, gagal ginjal, dan
kerusakan hati. Obat golongan penghambat protease sebaiknya tidak
diberikan bersamaan dengan simvastatin dan lovastatin. Pravastatin
adalah statin yang paling aman digunakan bersama dengan penghambat
protease. Atorvastatin dan fluvastatin harus digunakan secara hati-hati
dan dengan dosis yang lebih rendah bila diberikan bersama-sama dengan
penghambat protease.
Karena penghambat protease dapat menyebabkan resistensi insulin dan
peningkatan kadar glukosa darah, maka obat golongan ini dapat
memperberat diabetes pada odha yang juga menderita diabetes mellitus.
Seperti pengobatan diabetes mellitus pada umumnya, terapi
non-medikamentosa seperti diet, olah raga, dan menurunkan berat badan
sangat dianjurkan. Jika diperlukan dapat diberikan obat hipoglikemik
oral.
Penatalaksanaan Diet
Karena orang dengan HIV/AIDS sering mengalami masalah nutrisi, maka
sebaiknya mereka tidak berpantang makanan apapun, kecuali memang sangat
diperlukan. Bahkan untuk odha yang mengalami malnutrisi, apalagi wasting syndrome, diberikan diet tinggi kalori dan tinggi protein: susu, telur, daging, ikan, sangat dianjurkan.
Sebaiknya odha tidak perlu terlalu takut kelebihan kalori apalagi
protein, karena odha sangat memerlukannya. Sebuah studi pada 871 odha
perempuan melaporkan bahwa odha yang memiliki indeks massa tubuh yang
lebih tinggi akan lebih lambat mengalami kadar CD4 di bawah 200
sel/mm3—salah satu kriteria AIDS—dibandingkan odha dengan indeks massa
tubuh yang lebih rendah. Selain itu, indeks massa tubuh yang tinggi atau
kenaikan indeks massa tubuh selama perjalanan penyakit, ternyata
berkaitan dengan lambatnya progresivitas HIV.
Untuk diketahui, rasa makanan sangat dipengaruhi oleh kadar lemak.
Akibatnya jika pasien emikian juga odha yang mulai minum antiretroviral
sebaiknya tidak pantang lemak. Kalau pasien hanya makan sedikit dan
kebutuhan nutrisi tidak tercukupi, efek samping obat akan lebih berat
dan kondisinya bisa semakin menurun. Karena itu pasien seperti ini
justru memerlukan diet tinggi lemak dan tinggi protein. Namun sebaiknya
hindari lemak untuk sementara waktu jika ada diare, karena justru akan
memperberat masalah.
Saat ini untuk meningkatkan nafsu makan memang sudah tersedia
beberapa jenis obat, misalnya siproheptadin. Namun obat ini tak banyak
menolong pada odha. Berbeda halnya dengan obat megestrol acetat,
dipasarkan dengan nama Tracetat atau Megace sirup atau tablet yang cepat
sekali meningkatkan nafsu makan dan membuat pasien merasa lebih nyaman
dan membuat banyak pasien merasa lebih nyaman dan merasa lebih enak.
Perlu diketahui bahwa obat tersebut hanya mempertahankan, dan tidak
menambah, massa otot.
Penggunaan megestrol acetat untuk pasien kanker dan odha telah
disetujui sejak 10 tahun lalu oleh badan pengawasan obat dan makanan
Amerika (FDA), dan telah menolong banyak orang. Sayangnya, harga obat
ini masih cukup mahal, yakni sekitar 850 ribu hingga 1,2 juta rupiah.
Seharusnya obat yang sudah cukup lama masa patennya ini kini bisa
diperoleh dalam bentuk generik.
Yang menjadi pertanyaan sekarang: bagaimana dengan odha (dan
pasien kanker) yang berasal dari kelompok ekonomi menengah-bawah bisa
memenuhi kebutuhan nutrisinya tanpa bantuan obat yang harganya di luar
jangkauan mereka? Prinsipnya yang harus diingat adalah pasien tidak
perlu kaya, tapi akses terhadap obat harus dibuka seluas-luasnya. Tapi
seandainya masih ada hambatan, maka beberapa hal yang bisa dilakukan
oleh keluarga adalah menyusun menu yang variatif setiap hari, yang
disesuaikan dengan keinginan pasien. Harus diingat bahwa karena
penyakitnya, tingkat kekebalan odha menurun atau lebih rendah dibanding
non-odha. Karenanya yang terbaik adalah makan makanan yang dimasak
sendiri di rumah karena kebersihannya relatif lebih baik. Jika sesekali
ingin makan di luar, pilihlah makanan yang panas (nasi goreng yang
langsung dimasak begitu dipesan, bakso, soto, dan sebagainya) serta
hindari makanan pelengkap seperti aneka sambal atau acar. Sayuran harus
diberikan dalam bentuk matang, bukan mentah (lalap), untuk menghindari
masuknya kuman ke dalam tubuh.
Cara lain untuk menyiasati nafsu makan yang rendah atau mual adalah dengan menerapkan prinsip small-frequent feeding.
Artinya jadwal makan pasien diberikan dalam 5 sampai 6 kali, tapi dalam
porsi yang lebih kecil. Cara ini, meski mungkin sedikit merepotkan,
juga mestinya bisa diterapkan di rumah sakit.
Karena odha seringkali mengalami defisiensi mikronutrien seperti
vitamin B12, asam folat, tiamin, seng, selenium, kalsium, magnesium,
serta vitamin yang larut dalam lemak, terutama vitamin A dan D, maka
dapat diberikan suplemen untuk mengatasi kekurangan zat gizi yang
terjadi.
Sebagai penutup, olahraga aman dilakukan oleh odha dan banyak
manfaatnya. Latihan beban merupakan metode yang dapat secara langsung
meningkatkan massa otot. Untuk odha yang mengalami wasting syndrome,
olahraga dapat meningkatkan massa tubuh dan berat badan secara
keseluruhan jika dikombinasikan dengan asupan makanan yang adekuat.
Pustaka:
Wanke CA, Silva M, Knox T, et al. “Weight loss and wasting remain
common complications in individuals infected with Human Immunodeficiency
Virus in the era of highly active antiretroviral therapy.” Clin Infect Dis, 2000; 31:803-5.
Abby H, Shevitz, Knox TA. “Nutrition in the era of highly active antiretroviral therapy.” Clin Infect Dis 2001;321:1769-75.