“Dan apabila aku sakit. Dialah (Allah) yang menyembuhkanku” (As Syu’araa: 80)
Slide 1 Code Start -->

ODHA dengan Infeksi Oportunis : Dermatitis Kronis dan SGB

Perbaikan yang begitu cepat hanya dalam waktu 1 bulan pengobatan. Alhamdulllah

Control Keberadaan Virus HIV

Sangat penting di lakukan Kontrol VL selama Pengobatan Kami

Rasulullah ﷺ
“Setiap penyakit ada obatnya, dan bila telah ditemukan dengan tepat obat suatu penyakit, niscaya akan sembuh dengan izin Allah”
Tampilkan postingan dengan label nikah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label nikah. Tampilkan semua postingan

Cerai Penderita HIV menurut Islam

Bagaimana Menurut Islam Hukum Cerai Karena Penyakit AIDS ?

Bagaimana Menurut Islam Hukum Cerai Karena Penyakit AIDS ?, cerai karena aids, hukum cerai, alasan cerai, faktor yang diperbolehkan bercerai
Tanya : Apakah AIDS dapat dijadikan alasan perceraian menurut perspektif atau pandangan hukum Islam ? (Putra Semarang)

Jawab : Pada dasamya syariat islamiyah mulai dari shalat, zakat, puasa, haji, muamalat, jinayat, sampai munakayat atau pernikahan bertujuan untuk mengatur kehidupan manusia baik sebagai makhluk individual, maupun makhluk sosial dalam hubungannya dengan Allah, antara sesama manusia (lingkungan sosial) dan alam yang muara akhirnya adalah sa’adatu ad-daraini (kebahagiaan dunia dan akhirat). 

Dalam konteks pertanyaan di atas, perlu disinggung terlebih dahulu makna apakah yang terkandung pada syariat penikahan. 

Secara etimologi pernikahan adalah mengumpulkan, sedangkan menutut syara’ mempunyai arti akad yang membolehkan istimta’ (pemenuhan kebutuhan biologis) di antara pasangan suami-istri menurut aturan syara’pula (Al Fiqhu Al-Manhajy).

Kebutuhan bergaul dengan manusia lain dan pemenuhan kebutuhan biologis bagi manusia bukan sekedar watak manusiawi yang tanpa makna. Karena manusia hidup secara totalitas sebagai makhluk individu maupun sosial yang diciptakan oleh Allah lebih sempurna dan mulia. Oleh karena itu untuk menjaga kesempurnaan dan kemuliaannya, Islam memberikan jalan salah satunya berupa syariat pernikahan.

Namun demikian, kita sadar bahwa manusia memiliki kelemahan fisik maupun batin yang dalam pernikahan dapat menjadi cacat bagi pasangan suami istri sehingga berakibat tidak dapat melaksanakan dan menjalankan fungsi-fungsi atau kewajibannya masing-masing.

Menurut ajaran Islam (fikih) ada tujuh macam cacat yang diidentifikasj sebagai cacat penikahan (‘uyubu an-nikah) yang dapat membolehkan suami istri membatalkan pernikahannya atau cerai (fasakh), tiga di antaranya terdapat pada suami dan istri yaitu, sakit jiwa atau gila, barash atau penyakit kulit (belang-belang), judzam (lepra), dan empat cacat yang lain masing-masing dua cacat hanya terdapat pada suami yaitu, ‘unnaji (tidak dapat ereksi), majbub (terpotongnya penis) dan dua cacat yang lain sebaliknya hanya terdapat pada istri yaitu, qarn (tertutupnya alat senggama atau v*g*na) oleh tulang dan rataq (tertutupnya alat senggama oleh daging tumbuh). (Al-Majmu XVII, 435)

Kalau dikaji lebih dalam tujuh cacat di atas, dapat disederhanakan menjadi dua sebab, pertama, cacat yang dapat menjadikan orang lain menghindar (tanfir) karena membahayakan (adh-dharar) atau merasa risih sehingga mengganggu eksistensi manusia sebagai makhluk sosial. Dalam terminologi fikih disebutkan tiga cacat (sakit jiwa, barash, judzam) yang kedua, cacat yang dapat menghalangi pemenuhan kebutithan biologis yang menjadi tujuan utama (maqasid al-a’zham) dari perkawinan itu sendini yaitu jima’(istimta) atau hubungan s*ks*al. Ini berarti mengurangi fitrah manusia sebagai mahluk individu yang membutuhkan kepuasan s*ks. Dalam hal ini fikih menyebutkan empat cacat (‘unnah, majbub pada suami, rataq, qarn pada istri). (Kifayah A1-Akhyar II, 59-60, Syarqawi; 235) 

Seirama dengan perubahan zaman, fenomena rumah tanggapun semakin berkembang seperti terjadi pada kasus-kasus yang baru “bagaimana kalau salah satu dari suami atau istri mengidap penyakit AIDS”. Untuk menjawab pertanyaan ini setidaknya kita harus tahu terlebih dahulu apa dan bagaimanakah sifat-sifat AIDS itu. 

AIDS (Acquired Immujiuno Deficiency Syndrome) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus HIV yang menurut analisa medis akan menghilangakan sistem kekebalan tubuh penderitanya sehingga sangat memudahkan penyakit-penyakit lain menyerang. 

Penyakit-penyakit lain yang timbul setelah serangan AIDS menjadi susah atau tidak dapat disembuhkan karena dengan hilangnya sistem kekebalan tubuh. Semua injeksi obat-obatan menjadi tidak berarti, sementara AIDS itu sendiri sampai sekarang belum ditemukan obatnya. Oleh karena itu pada batas tertentu umumnya AIDS akan merenggut nyawa penderitanya. 

Menurut ilmu medis, AIDS merupakan salah satu penyakit menular. Di antara media penularanya melalui cairan-cairan tubuh yang aktif (transfusi darah, sperma atau hubungan s*ks*al). Berdasarkan analisa medis pula, hubungan s*ks dengan penderita AIDS sangat berbahaya karena dapat terinfeksi virus HIV (AIDS) yang sewaktu-waktu dapat merenggut jiwa. Padahal dalam ajaran agama, menjaga diri, kehormatan dan harta benda adalah kewajiban.

Dengan demikian AIDS telah menghilangkan atau setidaknya mengurangi arti penting sebuah perkawinan yang memiliki nuansa sosial dan individual. Pertama, menghalangi inaqshud al-a‘zham dan perkawinan yaitu Jima’ (istimta’) atau hubungan s*ks*al. Yang kedua, manjadikan orang menghindar (tanfir) karena ada adh-dharar (bahaya) maupun karena risih.

Dalam kondisi semacam itu dimana salah satu pihak dari pasangan suami-istri mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibanya sebagai suami-istri, maka agama membolehkan adanya perceraian. (Al Majmu XVII, 435, KHI Pasal 166 E).

Hukum Menikah Penderita HIV

Mengidap HIV-AIDS dan Ingin Menikah

Pertanyaan:
Assalammu’alaikum warahmatullah wabarakatuh
Ustadz, alhamdulillah saya sudah mengenal sunah dan semoga saya bisa istiqomah di atas tauhid dan sunah, amin.
Saya laki-laki dan usia saya sudah 28 tahun, namun hingga saat ini saya belum menikah.

Hal ini bukan karena masalah ekonomi atau belum bertemu dengan wanita yang sesuai, tapi lebih karena kondisi kesehatan saya. Awal mula saya tahu kalau saya sakit yaitu ketika membantu teman saya yang sakit, tapi pada akhirnya qodarullah dia meninggal.
Ternyata hasil pemeriksaan dokter dia mengidap HIV, dia memang teman saya waktu remaja dan kami memang nakal. Setelah itu saya coba periksakan darah saya dan hasilnya saya juga positif, alhamdulillah saya bisa terima itu dan coba untuk bertawakal kepada Allah. Dan saya sadar semua ini adalah akibat dari dosa saya sendiri -semoga Allah mengampuni dosa-dosa saya, amin-.
Hal yang membuat saya bingung adalah, tekanan dari keluarga saya ustadz, mereka menginginkan saya segera menikah, memang saya tidak memberitahukan keluarga mengenai kondisi kesehatan saya.  Saya tidak ingin membuat kedua orang tua saya sedih, saya tidak ingin membuat mereka khawatir kondisi saya. Alhamdulillah, semenjak saya kerja kondisi ekonomi keluarga kami mulai membaik dan hal ini juga yang mendorong keluarga saya untuk mendesak saya segera menikah.
Pertanyaan saya Ustadz:
1. Apakah boleh orang yang memiliki penyakit menular untuk menikah? Karena di pikiran saya, itu sama saja menzalimi istri dan anak saya nantinya.
2. Apa boleh saya untuk kabur dari rumah dan tidak berhubungan sama sekali dengan keluarga hingga saya nanti meninggal? Karena saya tidak mau orang tua saya kesusahan ketika saya sakit, apalagi mereka sudah 50 tahun lebih.
3. Apa solusi bagi saya? Kadang syahwat ini timbul Ustadz, bagaimanapun saya adalah laki-laki normal yang terkadang syahwatnya bisa muncul.
Semoga Ustadz bisa memberikan jawaban yang bisa menenangkan hati saya (dan yang pasti saya tidak akan mungkin jujur kepada orang tua saya).
Semoga Allah senantiasa menjaga Ustadz dan keluarga juga seluruh tim KonsultasiSyariah. Barakallahu fiikum.
Assalammu’alaikum warahmatullah wabarakatuh
Dari: Abdillah

Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh
Dalam Fatawa Islam, Syaikh Muhammad Sholeh Munajed menegaskan
Orang yang mengidap penyakit AIDS tidak boleh menikah, kecuali setelah dia menjelaskan tentang penyakitnya, kepada calon pasangannya. Dia bisa sampaikan: ‘Saya mengidap penyakit demikian..’ Jika calon pasangannya bersedia, maka boleh dia lakukan, sebaliknya jika tidak setuju maka tidak boleh.
Karena jika dia rahasiakan kepada calonnya, dia dianggap menipu mereka. Karena wanita yang mengidap AIDS, bisa menularkan penyakit itu ke suaminya. Atau lelaki yang mengidap AIDS, bisa menularkan penyakitnya ke istrinya.
Akan tetapi jika pihak wanita merelakan hal itu, bersedia menerima, dan siap menghadapi segala takdir Allah dan konsekuensinya maka itu tidak masalah. (Fatwa Islam, no. 11137)
Dalam fatwa yang lain, tentang hukum pengidap AIDS menikah dengan sesama pengidap AIDS,

Muhammad Sholeh Munajed menjelaskan,
Tidak masalah orang yang mengidap AIDS menikah dengan pasangan yang sehat atau sesama pengidap. Dengan syarat, dia menjelaskan keadaan sakitnya. Jika dia setuju dan Anda ingin melakukan hubungan, bisa digunakan pengaman.( baca kondom 100% tidak aman )
Di sisi lain, kehidupan berumah tangga tidak hanya sebatas hubungan badan saja. Seseorang bisa saja menikah dengan wanita, kemudian kedua sepakat untuk tidak melakukan hubungan badan. Kebutuhan lelaki kepada wanita, atau sebaliknya, bukan hanya sebatas hubungan badan saja. Memberikan perhatian, perlindungan, nafkah, kasih sayang, membantu melakukan ketaatan, atau bahkan hanya mengharapkan warisan, terkadang bisa menjadi motivasi utama untuk menikah.
Mayoritas ulama menyatakan bolehnya seorang muslim menikah ketika sedang sakit yang mengantarkan pada kematiannya. Selama dia masih berakal dan memiliki kedewasaan. Dan sangat kecil kemungkinan orang butuh hubungan badan dalam kondisi semacam ini, sehingga sampai dia menikah?!
Syaikhul Islam pernah ditanya tentang hukum orang sakit menikah, apakah akad nikahnya sah?
Beliau menjawab:
نكاح المريض صحيح , ترث المرأة في قول جماهير علماء المسلمين من الصحابة والتابعين , ولا تستحق إلا مهر المثل , لا تستحق الزيادة على ذلك بالاتفاق
“Nikahnya orang sakit hukumnya sah. Sang istri bisa mendapatkan warisan menurut pendapat mayoritas ulama, baik di kalangan sahabat maupun tabiin. Pihak istri hanya berhak mendapatkan mahar umumnya masyarakat (ketika suaminya masih hidup), dan tidak berhak meminta lebih dari mahar itu, dengan sepakat ulama.” (al-Fatawa al-Kubra, 3:99)
Di kesempatan lain, beliau mengatakan:
نكاح المريض في مرض الموت صحيح ، وترث المرأة في قول جمهور العلماء من الصحابة والتابعين …
“Nikahnya orang sakit yang mendekati ajalnya hukumnya sah. Istri berhak mendapatkan warisan, menurut mayoritas ulama, sahabat maupun tabiin.”  (al-Fatawa al-Kubro, 5:466)
Tambahan:
Seperti yang kita pahami, penyakit sangat berbahaya, dan dihindari semaksimal mungkin oleh semua orang. Karena itu, terlarang untuk ditularkan kepada siapapun, termasuk kepada anak.
Al-Ustadz Aris Munandar, MA menegaskan:
Anda menikahi wanita yang memang sama-sama mengidap HIV dan berupaya tidak memiliki keturunan dari hubungan badan yang terjadi.
Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)

Disclaimer :

Faktor kondisi tubuh dan Minat Pasien serta suport keluarga pasien sangat mempengaruhi Tingkat kesembuhan Pasien. Ingat Satu satunya di Indonesia menggunakan Formulasi ini yang terbukti mampu mengobati HIV. Simpanlah alamat kami . WA : 0823-3222-2009