Peringatan Hari AIDS sedunia pada tanggal 1 Desember merupakan
momentum rutin yang digawangi UNAIDS untuk mempopulerkan program global
penanggulangan HIV AIDS. Berbagai langkah dan strategi –pada berbagai
level- sudah dilakukan untuk mengendalikan dan menghilangkan epidemi
HIV/AIDS di dunia. Namun ternyata hingga kini ’perang melawan HIV/AIDS’
ini tidak juga berhasil. Alih-alih berkurang atau minimal stagnant
hingga akhirnya rudimenter (menghilang), ternyata jumlah penderita
HIV/AIDS ini justru bertambah dari tahun ke tahun. Saat ini dunia telah
terjangkit HIV/AIDS dengan angka yang memiriskan hati. HIV/AIDS di dunia
sebanyak 25 juta dan saat ini di dunia 33 juta orang yang masih hidup
bersama HIV/AIDS “Kasus HIV/AIDS di Indonesia bagaikan gunung es. Yang
terlihat hanya 10 persen dari jumlah kasus yang sebenarnya,” kata
Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) Nafsiah Mboi. KPAN
memprediksi jumlah kasus HIV/AIDS sebenarnya mencapai 298.000 kasus.
Padahal jumlah yang dilaporkan, untuk penderita AIDS hanya 18.442 dan
kasus HIV berjumlah 28.260 kasus. Sehingga total penderita HIV/AIDS
hanya mencapai 46.702 kasus.
Data KPA N menunjukkan, tahun 1987
jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia masih 5 kasus. Dan hanya dalam
tempo 10 tahun, bertambah menjadi 44 kasus. Tetapi sejak 2007, kasus
AIDS tiba-tiba melonjak menjadi 2.947 dan periode Juni 2009, meningkat
hingga delapan kali lipat menjadi 17.699
kasus.(www.bkkbn.or.id/18/11/09)
Dengan dalih untuk mengatasi laju pertambahan HIV AIDS yang telah
mengancam nyawa manusia, UNAIDS menyeru Negara- Negara anggota untuk
melaksanakan program penanggulangan HIV AIDS melalui program-program :
kondomisasi, substitusi metadon, pembagian jarum suntik steril dan hidup
sehat dengan ODHA. Namun, sampai saat ini tidak ada satu negarapun
yang mampu memberi jaminan bahwa berhasil menghilangkan penyebaran HIV
AIDS. Hal ini disebabkan karena factor penularannya tidak secara serius
di hilangkan, sehingga wajar HIV/AIDS tidak akan pernah bisa hilang di
dunia ini. Disinyalir, mayoritas penularan melalui heteroseksual
(48.8%; Heteroseksual bukan hanya karena suami-istri semata, tetapi
karena sering berganti-ganti pasangan (pergaulan
bebas/perselingkuhan),pengguna narkoba (41.5%) dan homoseksual(3.3%). Apa yang salah dari kebijakan penanganan epidemi HIV/AIDS selama ini?
Kesalahan Kebijakan Penanggulangan HIV-AIDS di Dunia dan Indonesia
Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia secara umum mengadopsi strategi
yang digunakan oleh UNAIDS dan WHO. Kedua lembaga internasional ini
menetapkan beberapa langkah penanggulangan HIV/AIDS di dunia dengan
beberapa area prioritas.. Upaya penanggulangan HIV/AIDS versi UNAIDS ini
telah menjadi kebijakan nasional yang berada di bawah koordinasi KPAN
(Komisi Penanggulangan AIDS Nasional).
Diantara program-program yang masuk dalam area pencegahan pada
Strategi Nasional Penanggulangan HIV-AIDS adalah: kondomisasi, Subsitusi
Metadon, Pembagian Jarum Suntik Steril dan Hidup sehat bersama ODHA.
Program-program secara hakiki ternyata tidaklah mampu menghilangkan
penyebaran HIV/AIDS, bahkan berpotensi untuk mempertahankan keberadaan
penyebaran virus ini tetap ada di sekeliling kita. Hal ini di jelaskan
dalam pemaparan di bawah ini
- 1. Kondomisasi (Obral Kondom = leluasa berzina/alat penyebar HIV AIDS)
Kondomisasi (100% kondom) sebagai salah satu butir dari strategi
nasional tersebut telah ditetapkan sejak tahun 1994 hingga sekarang.
Kampanye pengunaan kondom awalnya dipopulerkan melalui kampanye
ABCD. ABCD, yaitu A: abstinentia; B: be faithful; C: use Condom dan D: no Drug.
Saat ini kampanye penggunaan kondom semakin gencar dilakukan melalui
berbagai media, seperti buklet-buklet, melalui stasiun TV nasional,
seminar-seminar, penyebaran pamflet-pamflet dan stiker dengan berbagai
macam slogan yang mendorong penggunaan kondom untuk ‘safe sex’ dengan ‘dual protection’
(melindungi dari kehamilan tak diinginkan sekaligus melindungi dari
infeksi menular seksual). Kampanye kondom tak jarang dilakukan dengan
membagi-bagikan kondom secara gratis di tengah-tengah masyarakat seperti
mal-mal dan supermarket. Bahkan ada pula disertai dengan peragaan
penggunaan kondom pada alat kelamin. Ke sekolah-sekolah, remaja, dan
perguruan tinggi, kampanye kondom kian mengarus melalui program
kependudukan yang dinamakan KRR (Kesehatan Reproduksi Remaja).
Bahkan, meskipun mengundang banyak penolakan, kini telah diluncurkan
program ATM kondom. Hingga akhir Desember 2005 telah ada 6 lokasi ATM
kondom di Jakarta yaitu di BKKBN pusat, RSPAD Gatot Subroto, Mabes TNI
AD, poliklinik Mabes Polri, Dipdokkes polda Metro Jaya, dan klinik Pasar
Baru.1
Kampanye kondom tak jarang dilakukan dengan membagi-bagikan kondom
secara gratis di tengah-tengah masyarakat seperti mall-mall dan
supermarket. Kampanye tentang kondom pun telah masuk ke perguruan tinggi
dan sekolah-sekolah. Terakhir, demi memperluas cakupan sasaran
penggunaan kondom (utamanya para ABG/remaja yang masih segan kalau harus
membeli di apotik), kini telah diluncurkan program ATM (Anjungan Tunai
Mandiri) kondom. Cukup dengan memasukkan 3 koin lima ratus perak, maka
akan keluar 3 boks kondom dengan 3 rasa.
Banyak pihak yang meragukan dan menyatakan ketidaksetujuan terhadap
upaya penyebaran kondom (kondomisasi) sebagai jalan untuk mencegah
penularan HIV AIDS. Paus Benedict XVI dalam lawatannya ke Afrika pada
tanggal 17 maret 2009, mengatakan:“Kamu tidak bisa
menanggulanginya(HIV/AIDS) dengan membagi-bagikan kondom,” kata Paus
kepada, Malahan, itu akan menambah masalah.”(
www.acehkita.com/19/03/09).
Organisasi medis nirlaba, MER-C, bahkan secara tegas menolak kampanye
penggunaan kondom sebagai tindakan pencegahan penyebaran HIV/AIDS.
Sebagaimana dinyatakan USCDC (United State Center of Diseases Control),
bahwa program kondomisasi telah gagal dalam mengatasi bahaya HIV/AIDS
di AS.
1
Kondomisasi tidak berhasil memutus mata rantai penularan HIV-AIDS. Promosi
kemampuan kondom untuk mencegah penularan HIV/AIDS ternyata mengandung
kebohongan dan bahaya besar, hal ini dapat dilihat dari beberapa hal:
- i. Secara factual, kondom terbukti tidak mampu mencegah penularan HIV.
Hal ini karena kondom terbuat dari bahan dasar latex
(karet), yakni senyawa hidrokarbon dengan polimerisasi yang berarti
mempunyai serat dan berpori-pori. Dengan menggunakan mikroskop elektron,
terlihat tiap pori berukuran 70 mikron,10 yaitu 700 kali lebih besar dari ukuran HIV-1, yang hanya berdiameter 0,1 mikron.11
Selain itu para pemakai kondom semakin mudah terinfeksi atau menularkan
karena selama proses pembuatan kondom terbentuk lubang-lubang. Terlebih
lagi kondom sensitif terhadap suhu panas dan dingin,12 sehingga 36-38% sebenarnya tidak dapat digunakan.13
Dengan demikian, alih-alih sebagai penyelamat generasi dari bahaya HIV,
kondomisasi justru mendorong masyarakat berseks bebas dan mempercepat
penyebaran HIV/AIDS. Ini terbukti adanya peningkatan laju infeksi
sehubungan dengan kampanye kondom 13-27% lebih.2
- ii. Kondomisasi pintu masuk liberalisasi seks.
Kampanye ABCD ini tidak menyebutkan dengan tegas bahwa
hubungan seks mutlak dilakukan dalam ikatan pernikahan. Tetapi yang
menonjol adalah anjuran pemakaian kondom untuk seks yang aman. Kampanye
itu dilakukan baik melalui media cetak maupun elektronik. Yaitu berupa
buklet,15,16 leaflet, stiker, melalui station TV nasional,
seminar-seminar, yang mendorong masyarakat untuk berseks bebas dengan
kondom, dengan jargon ‘safe sex use condom’.
Kampanye kondomisasi semakin gencar dilakukan,
untuk membentuk mindset(persepsi) dan merubah perasaan masyarakat
menjadi permissive dan toleran terhadap perbuatan maksiat. Di saat
budaya kebebasan seks tumbuh subur, ketaqwaan kian menipis, kultur yang
kian individualistis, kontrol masyarakat semakin lemah, kemiskinan yang
kian menghimpit masyarakat dan maraknya industri prostitusi, kampanye
kondomisasi jelas akan membuat masyarakat semakin berani melakukan
perzinahan apalagi dengan adanya rasa aman semu yang ditanamkan dengan
menggunakan kondom.
Mengapa bersifat semu? Karena seks bebas akan tetap dimurkai Allah
SWT meskipun menggunakan kondom. Jangankan melakukan, mendekati
perzinahan saja tidak boleh. Dan program kondomisasi jelas-jelas
bertujuan untuk menfasilitasi berbagai kemaksiatan, termasuk
perzinahan, homo.
Bila dicermati secara seksama, muatan liberalisasi seks
yang kental dalam kampanye kondom memang tidak dapat dilepaskan dari
pemikiran yang mendasari gagasan kampanye kondom itu sendiri. Yaitu
gagasan pemenuhan hak-hak reproduksi yang tidak harus dalam bingkai
pernikahan. Pandangan ini disampaikan pada Konfrensi Wanita di Bejing,
tahun 1975 dan dikuatkan pada Konfrensi Kependudukan Dunia Tahun 1994 di
Kairo (ICPD, 1994).
Dengan demikian, kondomisasi tidak terbukti mampu mencegah penyebaran
HIV/AIDS. Di saat budaya kebebasan seks tumbuh subur, ketaqwaan yang
kian tipis (bahkan mungkin tidak ada), kultur yang kian individualistis,
kontrol masyarakat semakin lemah, kemiskinan yang kian menghimpit
masyarakat, maraknya industri prostitusi, dan ketika seseorang tidak
lagi takut dengan ancaman ’azab’ Tuhan, melainkan lebih takut kepada
ancaman penyakit mematikan ataupun rasa malu karena hamil di luar nikah,
maka kondomisasi dengan propaganda dual proteksinya jelas akan membuat
masyarakat semakin berani, ’nyaman dan aman’ melakukan perzinahan.
Sekalipun sebenarnya kondisi ’nyaman dan aman’ tersebut adalah semu.
Mencermati uraian di atas, jelaslah bahwa kondomisasi, apapun
alasannya, sama saja dengan menfasilitasi seks bebas, yang dimurkai
Allah swt. Dari segi kesehatan, seks bebas jelas merupakan sarana
penularan HIV/AIDS. Seks bebas akan mengakibatkan berjangkitnya
berbagai penyakit menular seksual seperti sifilis, gonore. Hal ini akan
meningkatkan resiko penularan HIV 100 kali, karena peradangan dan nyeri
memudahkan pemindahan HIV menembus barier mukosa.3
- 2. Subsitusi Metadon dan Pembagian Jarum Suntik Steril = Menambah Korban
Penyebaran HIV/AIDS karena penggunaan jarum suntik secara bergantian
dikalangan IDU yang sangat cepat akhir-akhir ini, dijadikan sebagai
alasan untuk men-sahkan tindakan memberikan jarum suntik steril dan
subsitusi metadon bagi penyalahguna NARKOBA suntik.
Saat ini, strategi subsitusi metadon dalam bentuk Program Terapi
Rumatan Metadon (PTRM) dan pembagian jarum suntik steril telah menjadi
salah satu layanan di rumah-rumah sakit, puskesmas-puskemas dan di
klinik-klinik VCT (voluntary Counseling and Testing). DepKes menyediakan 75 rumah sakit untuk layanan CST (Care Support and Treatmen), tercatat 18 Puskesmas percontohan, 260 unit layanan VCT yang tersebar di seluruh Indonesia.
Melalui layanan ini, para penasun (pengguna NARKOBA suntik) dapat
dengan mudah memperoleh jarum suntik dan metadon dengan harga cukup
murah, yaitu sekitar Rp7500/butir. Kehidupan para penasun yang lebih
teratur, tidak melakukan tindak kriminal selalu diopinikan untuk
membenarkan upaya ini. Namun benarkah upaya ini akan mengurangi risiko
penularan HIV/AIDS? Jawabannya jelas tidak. Mengapa?
Subsitusi adalah mengganti opiat (heroin) dengan zat yang masih
merupakan sintesis dan turunan opiat itu sendiri, misalnya metadon,
buphrenorphine HCL, tramadol, codein dan zat lain sejenis.
Subsitusi pada hakekatnya tetap membahayakan, karena semua subsitusi
tersebut tetap akan menimbulkan gangguan mental, termasuk metadon.
(Hawari, D. , 2004) Selain itu metadon tetap memiliki efek adiktif.
(Bagian Farmakologi. FK. UI. Jakarta.2003) Sementara itu mereka yang
terjerumus pada penyalahgunaan NARKOBA termasuk para IDU pada hakikatnya
sedang mengalami gangguan mental organik dan perilaku, dimana terjadi
kehilangan kontrol diri yang berikutnya menjerumuskan para pengguna
NARKOBA dan turunannya tersebut pada perilaku seks bebas.
Adapun pemberian jarum suntik steril kepada penasun agar terhindar
dari penularan HIV/AIDS, jelas merupakan strategi yang sangat absurd.
Ketika seorang pemakai sedang ’on’ atau ’fly’ karena
efek narkoba suntik tersebut, mungkinkah masih memiliki kesadaran untuk
tidak mau berbagi jarum dengan teman ’senasib sepenanggungannya’?!
Di
saat seperti itu, masihkah mereka memiliki kesadaran yang bagus tentang
bahaya berbagi jarum suntik bersama, padahal pada saat yang sama mereka
sudah lupa (baca: tidak sadar lagi) bahwa memakai narkoba suntik
sebagaimana yang mereka lakukan sekarang -dengan atau tanpa berbagi
jarum suntik- adalah hal yang membahayakan kesehatannya?! Lagi pula,
sudah menjadi hal yang dipahami bahwa mereka-mereka yang sudah terlanjur
’terperangkap’ dalam jerat gaya hidup yang rusak ini biasanya memiliki
rasa kebersamaan dan solidaritas yang sangat tinggi dengan
teman-temannya sesama pemakai. Dari temanlah mereka pertama kali
mengenal narkoba, dan bersama teman jugalah mereka kemudian bersama-sama
berpesta narkoba. Hal ini dibuktikan oleh tingginya angka kekambuhan
akibat bujukan teman-teman. Dan biasanya setiap pemakai memiliki peer group dengan anggota 9-10 orang.
Fakta menunjukkan bahwa peredaran narkoba di masyarakat berlangsung
melalui jaringan mafia yang tertutup, rapi dan sulit disentuh hukum.
Jaringan tersebut bersifat internasional, terorganisir rapi dan bergerak
dengan cepat.33 Selain itu, sekali masuk perangkap mafia
narkoba sulit untuk melepaskan diri. Dalam kondisi lemahnya ketaqwaan,
himpitan ekonomi yang semakin berat, siapa yang bisa menjamin bahwa para
pelayan penasun tidak akan “bermain mata” dengan para mafia narkoba?
Bukankah bisnis haram ini menjanjikan untung yang menggiurkan? Dan
bukankah ini justru membiarkan penasun sebagai penyalah guna narkoba?
Siapakah yang bisa melakukan pengawasan 24 jam terhadap penasun,
sehingga penasun dapat dipastikan akan menggunkan jarum sendiri?
Perilaku seks bebas pada pasien yang mendapat terapi subsitusi
metadon juga diakui oleh dokter yang berkerja pada salah satu program
terapi rumatan metadon di Bandung.32 Dan yang penting lagi
adalah para pengguna narkoba meskipun menggunakan jarum suntik steril
tetap berisiko terjerumus pada perilaku seks bebas akibat kehilangan
kontrol. Sementara itu seks bebas merupakan media penularan terpenting
HIV/AIDS.
Dr. James Blogg, dari AUSAIDS, pada Simposium Nas,
30Nov-1 Des, mengatakan AS masih menolak program kondomisasi &
subsitusi metadon untuk mengatasi epidemi HIV/AIDS.
Dengan demikian, memberikan jarum suntik meskipun steril, di
tengah-tengah jeratan mafia NARKOBA sama saja menjerumuskan anggota
masyarakat kepada penyalahgunaan NARKOBA.
- 3. Kepedulian Terhadap “ODHA” Penuh Kejanggalan
“ODHA” yang dimaksud adalah Orang
dengan HIV/AIDS dari kalangan pezina, pelacur, homo dan lesbi, penasun.
Dan termasuk juga orang-orang yang beresiko terinfeksi HIV karena
termasuk komunitas pelaku maksiat ini.
Pada International Congress on AIDS in Asia and the Pacific
(ICAAP), yaitu Kongres Internasional AIDS se Asia Pacific ke 9, 9-13
Agustus 2009 lalu, semakin jelas adanya perhatian khusus kepada
komunitas “ODHA”. Yaitu adanya undangan untuk perwakilan-perwakilan
organisasi-organisasi pelaku seks bebas ini, sebagaimana ada undangan
untuk tokoh-tokoh masyarakat, ilmuwan, para peneliti yang berhubungan
dengan HIV/AIDS. Mereka difasilitasi memperluas dan memperkuat
jaringan, dengan dalih pemberdayaan.
Selain itu, pasca perhelatan akbar se Asia-Pacifik yang
menghabiskan dana milyaran rupiah ini sebuah station TV swasta yang
berpengaruh melakukan wawancara khusus dengan seorang Gay yang memiliki
reputasi Nasional. Acara itu nampaknya untuk mengokohkan persepsi
masyarakat bahwa Gay, lesbi, pelacur, pezina adalah orang-orang “baik”
(bukan pelaku maksiat,) yang pantas diberi ruang kehidupan yang sama
dengan orang-orang baik.
Dan yang cukup mengejutkan adalah, adanya kongres PSK
(baca:pelacur) se-Karawang. Dan berbagai pertemuan-pertemuan yang
memberikan “ruang” yang sama dengan orang-orang “baik”.
Kepedulian Dunia terhadap “ODHA” memang
“istimewa”. Bagaimana tidak, perbuatan mereka yang jelas-jelas dibenci
Allah swt, dan bertentang dengan fitrah manusia harus dilihat sebagai
perbuatan “baik” dan wajar. Masyarakat didorong menerima pelaku maksiat
ini dengan dalih HAM (Hak Asasi Manusia); dan pemerintah harus
menfasilitasi aktivitas yang mereka lakukan. Meskipun untuk semua itu
harus mengorbankan orang-orang yang baik dan sehat.
Misalnya saja, hingga saat ini tidak bisa dilakukan skrining masal.
Padahal skrining masal sangat penting sebagai salah satu langkah
preventif penanggulangan HIV/AIDS, demikian dinyatakan Prof. Dr. dr.
Zubairi Djoerban, SpPD-KHOM (Republika, Ahad 27 Mei 2007). Hal ini
karena penderita HIV/AIDS pada stadium asimtomatik terlihat sehat-sehat
saja, namun darah serta cairan tubuh penderita berpotensi menularkan
HIV dan fase ini berlangsung sangat lama, yaitu 3 hingga 10 tahun.3
Demikian pula petugas VCT, tidak bisa melakukan pemeriksaan terhadap
orang-orang yang diduga dan bresiko terinfeksi HIV, kecuali atas izin
dan kerelaan yang bersangkutan. Dan hasil pemeriksaan harus
dirahasiakan, meskipun terbukti positif mengidap HIV. Pada hal pengidap
HIV berpotensi menularkan HIV meskipun terlihat sehat-sehat saja (belum
sampai pada fase AIDS). Sementara itu kampanye “Hidup Sehat Bersama
ODHA”, semakin menghilangkan sikap kehati-hatian berbagai pihak terhadap
penyakit yang membahayakan ini.
Akibatnya, HIV semakin mudah membunuh. Apa lagi adanya resiko
koinfeksi TB (Tuberkulosis), HIV dan malaria. Penderita HIV beresiko
lebih tinggi terinfeksi TB dan sebaliknya. Sementara itu, terdapat 9,2
juta penderita TBC di Indonesia (WHO, 2008).
Jika dicermati perjalanan penyakit HIV /AIDS yang menghabiskan waktu satu dekade (Gambar 1),4
terlihatlah adanya fase-fase kritis penularan tersebut. Selama
fase-fase kritis, ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) berada dalam kondisi yang
memungkinkan penularan melalui darah dan atau cairan tubuhnya. Terlebih
lagi karena ODHA sendiri maupun orang-orang disekitarnya tidak
menyadari potensi tersebut, baik karena tidak terlihat gejala adanya
infeksi HIV/AIDS pada penderita maupun karena hasil uji lab yang
negatif.
Perjalanan penyakit HIV/AIDS diawali dengan adanya infeksi primer,
yaitu bila sejumlah HIV dengan derajat virulensi tertentu masuk dalam
sistem peredaran darah, seperti melalui mukosa atau luka (meskipun
sangat kecil), sementara itu sistem imun tidak mampu mencegah interaksi
HIV dengan sel-sel imun (CD4) sebagai sel target.3,4,5 Fase
ini tidak menunjukkan gejala yang khas, sehingga pengobatan dan
antisipasi kemungkinan penularan melalui darah dan cairn tubuh ODHA
tidak bisa dilakukan segera. Biasanya penderita merasa lelah, terlihat
adanya ruam kulit dan ulkus di mulut serta genital.9 Gejala tidak khas ini muncul setelah 2-3 minggu terinfeksi dan akan hilang 2-3 minggu kemudian.6
Dalam waktu 24-48 jam setelah terjadi infeksi primer, sel dendritik
yang terinfeksi bermigrasi ke kelenjar limfe regional. Replikasi di sel
limfosit berlangsung dengan cepat, setiap sel limfosit dapat
mengeluarkan 5000 partikel virus, jumlah partikel HIV meningkat
eksponensial secara terus menerus.3,17,18
Respon imun terlihat baik diawal infeksi, tetapi tidak mampu
mengatasi infeksi dan menurun sejak bulan pertama hingga 3 bulan
kemudian. Akibatnya, uji serologi tidak mampu mendeteksi adanya
infeksi, kondisi ini dikenal dengan sebutan window periode. Ini adalah
fase kritis berikutnya, karena tidak terlihat gejala dan uji serologi
juga negatif. Sementara itu, HIV terus bereplikasi, darah dan cairan tubuh penderita berpotensi menularkan HIV.3,17,18 Pada fase inilah umumnya terjadi infeksi HIV melalui transfusi darah.
Adapun stadium asimtomatik, penderita terlihat sehat-sehat saja,
sehingga ODHA bisa hilang kehati-hatian dan kewaspadaan untuk tidak
menularkan dan demikian juga orang-orang disekitarnya. Sementara itu HIV
bereplikasi secara aktif di jaringan limfoid, dan darah serta cairan
tubuh penderita berpotensi menularkan HIV. Fase ini berlangsung sangat
lama, yaitu 3 hingga 10 tahun.3,17,18 Inilah yang menjadi alasan mengapa fase ini dianggap kritis.
Setelah melampai masa tanpa gejala, penyakit memasuki stadium AIDS,
ditandai dengan penurunan kerja sistem imun yang signifikan,
perkembangan neoplasma yang tidak lazim, serta berbagai infeksi
opurtunistik. Pada keadaan AIDS lanjut terjadi penurunan sistem
kekebalan tubuh yang tajam, sehingga tubuh tak mampu membuat antibodi
dan pemeriksaan serologi negatif. Sementara itu derajat virulensi HIV
terus meningkat seiring dengan peningkatan stadium, ini berarti pada
fase AIDS, risiko terinfeksi akibat terpapar darah dan cairan tubuh ODHA
semakin tinggi.3,17,18
Darah dan cairan tubuh ODHA berisiko menularkan HIV karena mengandung
virus yang dapat bertahan hidup tujuh hari pada suhu kamar.7
Kadarnya adalah: 18.000 partikel/mL darah; 11.000 partikel/mL semen;
7.000/mL cairan vagina; 4.000 partikel/mL cairan amnion; dan 1
partikel/mL saliva.8 Tingkat risiko penularan tinggi adalah
darah, serum, semen, sputum dan sekresi vagina. Cairan amnion, cairan
serebrospinal, cairan pleura, cairan peritoneal, cairan perikardial,
cairan sinovial tergolong masih sulit ditentukan risikonya. Mukosa
seviks, muntah feses, saliva, keringat, air mata dan urin tergolong
risiko rendah selama tidak terkontaminasi darah. Penelitian pada
binatang menunjukkan peningkatan risiko jika paparan terjadi dengan
darah yang volumenya banyak dan luka yang dalam. Risiko juga meningkat
jika orang yang menjadi sumber penularan dalam keadaan AIDS lanjut, atau
viral load tinggi.9
Oleh karena itu, sebaiknya dihindari untuk bersalaman, berciuman,
penggunaan bersama alat makan, toilet,sikat gigi, alat pencukur, dan
alat-alat lain yang dapat terkontaminasi darah (termasuk darah haid).
Orang yang terinfeksi agar tidak mendonorkan darah, plasma, jaringan
tubuh atau sperma. Wanita seropositif atau wanita dengan pasangan
seksual seropositif , jika hamil bayi berisiko tinggi terinfeksi HIV.
Setelah kecelakaan yang menimbulkan perdarahan, permukaan yang
terkontaminasi harus dibersihkan pencuci rumah tangga yang diencerkan
1:10 dalam air. Alat yang menusuk kulit, misal jarum hipodemik, atau
jarum akupuntur harus disterilisasi uap. Alat kedokteran gigi harus
disterilisasi panas sebelum penggunaan ulang.3
Adanya fase-fase kritis penularan, sementara itu darah serta semua
cairan tubuh ODHA berpotensi menularkan HIV/AIDS, tetapi karena alasan
HAM telah mengabaikan aspek kewaspadaan dan kehati-hatian. Jelas hal ini
sama saja menfasilitasi penularan HIV/AIDS pada orang yang sehat. Upaya
media massa menutup-nutupi informasi sebenarnya seputar AIDS, bahkan
mengangkat isu yang keliru, sebenarnya justru menutup jalan penyelesaian
yang tepat terhadap penanggulangan HIV/AIDS.
Dengan demikian, perlakukan yang istimewa terhadap “ODHA” tidak saja
menenggelamkan masyarakat dalam perbuatan maksiat (seks bebas), namun
juga melapang HIV membantai jutaan bahkan ratusan juta orang-orang
yang sehat.
Lebih jauh lagi, uraian di atas membuktikan sesungguhnya
kepedulian Dunia (AS dan sekutunya) terhadap HIV/AIDS hanyalah tipu
daya belaka. Tipu daya untuk mengokohkan keberadaan ideologi Kapitalis
dan menghalangi kebangkitan Ideologi Islam.
Allah swt telah mengingatkan QS 2:120, yang artinya ”Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti millah mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". Dan QS 8:30, yang artinya “Dan
(ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya
terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau
mengusirmu. mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya
itu. dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya”.
Peringatan-peringatan Allah SWT tersebut tentu saja sangat pantas bahkan
wajib kita yakini, bahwa musuh-musuh Allah SWT tidak akan
henti-hentinya melakukan kejahatan, konspirasi, sehingga kita mengikuti
jalan hidup mereka, mejauhkan kita dari kehidupan Islam dan perjuangan
untuk itu.
Paradigma Sekuler-Liberal dalam Penanggulangan HIV/AIDS
Telah jelas bahwa penanggulangan HIV/AIDS melalui kondomisasi,
subsitusi metadon, pembagian jarum suntik steril dan pemberian hak hidup
atas nama ”Kedulian” terhadap ODHA, sebenarnya tidak realistis dan
tidak rasional. Kedua perilaku (free sex dan penyalagunaan
NAPZA) yang kita semua sudah sepakat menyebutnya sebagai ’penyimpangan
perilaku’ sebenarnya menunjukkan kesepakatan yang seharusnya kita ambil
bahwa sebuah penyimpangan adalah kesalahan. Sebuah penyimpangan atau
kesalahan adalah sesuatu yang harus kita luruskan dan kembalikan kepada
jalan yang benar. Pembenaran terhadap sebuah penyimpangan
perilaku/kesalahan meniscayakan munculnya kerusakan. Sehingga upaya yang
kita lakukan seharusnya all out dalam mengupayakan pelurusan
terhadap penyimpangan yang terjadi, sembari menutup celah ’muncul dan
terpeliharanya’ penyimpangan perilaku tadi di tengah-tengah masyarakat.
Ketidaktegasan kebijakan ini untuk menjadikan perilaku seks bebas dan
penyalahgunaan narkoba sebagai suatu tindakan menyimpang, salah dan
harus diluruskan, menunjukkan dengan sangat jelas bahwa paradigma yang
melandasi strategi ini adalah paradigma sekuler dan liberal. Dikatakan sekuler
karena paradigma ini berupaya menjauhkan pengaturan kehidupan dunia
dari agama atau sebaliknya. Sehingga standard untuk menilai apapun
(termasuk perbuatan manusia) bukanlah halal-haram, baik-buruk ataupun
terpuji-tercela sebagaimana yang diajarkan oleh agama, melainkan
’kemanfaatan (yang lebih bersifat fisik/materi)’ yang dijadikan ukuran
sebuah perbuatan itu baik atau buruk, dilakukan atau ditinggalkan,
dibolehkan atau dilarang. Dikatakan liberal karena
paradigma ini menjadikan kebebasan individu (termasuk didalamnya
kebebasan seksual) sebagai hal yang diagung-agungkan, dan harus dijamin
oleh negara secara mutlak atas nama hak asasi manusia. Tidak ada yang
membatasi kebebasan individu ini kecuali kebebasan individu yang lain.
Dan tugas negara adalah menjadi penjamin atas terpenuhinya semua
kebebasan individu tadi.
Inilah yang meniscayakan negara pengusung liberalisme senantiasa
mengambil kebijakan yang bersifat ”permissive/serba boleh” atas nama HAM
. Dalam paradigma sekuler-liberal, kita tidak boleh melarang seseorang
untuk tidak bergonta-ganti pasangan atau membatasi orientasi seksualnya
agar tidak kepada sesama jenis dengan alasan hal itu adalah perbuatan
menyimpang (melanggar HAM) dan akan menyebabkan dia beresiko terkena
infeksi menular seksual. Karena sekali lagi, kebebasan seksual ini
adalah bagian dari kebebasan individu yang harus dijamin. Gampangnya,
seseorang mau jadi sakit atau tidak, baik atau menyimpang, adalah hak
asasi dia (kebebasan dia untuk memilih) yang harus kita hargai dan
hormati, dengan tidak memaksakan pilihan kita kepada dia. Akan tetapi
kita boleh keberatan dengan perilaku seks bebas seseorang tersebut,
kalau kita merasa terganggu. Misalnya, kita merasa risih melihat
aktivitas seks bebas tersebut di lakukan di tempat umum atau di tengah
keramaian yang membuat kita terganggu melakukan aktivitas kita. Maka
dalam keadaan dua hak kebebasan ini meminta jaminan pemenuhan, sementara
kalau dibiarkan meniscayakan adanya benturan, maka negara akan turun
tangan dengan kebijakan ’jalan tengah’nya. Dalam hal ini, kebijakan yang
mungkin diambil adalah menetapkan dimana area seseorang boleh melakukan
free sex secara legal (lokalisasi prostitusi) dan dimana area yang terlarang, tanpa harus mengatakan bahwa free sex adalah
perbuatan yang salah, dan seks dalam bingkai pernikahan adalah yang
benar. Karena karakter kebijakan ’permissive’ pada sistem berbasis
paradigma sekuler-liberal ini adalah tidak menghukumi mana yang benar
sehingga harus dibela, dan mana yang salah sehingga harus dilarang. Akan
tetapi dia harus mengakomodasi dua kutub tersebut tanpa harus ada
kejelasan sikap tentang benar atau salah.
Sebaliknya, ketika suatu saat terjadi perilaku -yang umumnya
dipandang- menyimpang dan merugikan akan tetapi tidak ada pihak lain
yang merasa terampas hak/kebebasannya, maka negara dalam kondisi ini
tidak bisa turun tangan untuk melarang perilaku tersebut. Misalnya
fenomena ’swinger sex’ atau saling bertukar pasangan
suami/istri dengan orang lain atas dasar suka sama suka (baca: sepakat
dan saling menyetujui untuk berselingkuh dengan bertukar pasangan dengan
orang lain) adalah sesuatu yang dipandang ’baik-baik’ saja oleh sistem
ini karena kebebasan individu adalah sesuatu yang harus dijamin,
sementara tidak ada yang merasa terampas hak/kebebasannya dengan
perilaku ini.
Khilfah Penjamin Penyelamat Generasi=Bebas Seks Bebas &HIV AIDS
Berbeda dengan sistem kehidupan sekuler,
sistem kehidupan Islam adalah sistem kehidupan yang membebaskan manusia
dari segala rasa takut, demikian pula rasa takut akibat ancaman senjata
bilogi AS, sebagaimana firman Allah swt dalam QS QS 24:55, yang artinya,
“Allah swt berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal sholeh di antara kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang
sebelum mereka berkuasa, akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah
diridhai-Nya untuk mereka; dan akan menukar (keadaan mereka sesudah
mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap
menyembah-Ku tampa mempersekutukan sesuatu apapun denganAku. Siapa saja
yang tetap kafir sesudah janji itu maka mereka itulah orang-orang yang
fasik”.
Hal yang semakna juga diungkapkan Rasulullah saw, beliau
mengibaratkan sistem kehidupan Islam (Khalifah) sebagai pelindung. Yaitu
pelindung dari segala yang akan membahayakan kehormatan, jiwa dan harta
kaum muslimin, termasuk pelindung masyarakat dari ancaman kuman
rekayasa AS, dan seks bebas, hadist itu berbunyi, yang artinya”Sesungguhnya iman (khalifah) itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang dibelakngnya dan berlindung kepadanya”.(HR Muslim).
Kemampuan Islam membebaskan generasi dari ancaman bahaya
HIV dan seks bebas adalah pasti, yaitu karena sifatnya sebagai sistem
kehidupan yang berasal dari Allah swt Pencipta manusia, memiliki visi
dan misi yang mendunia, yaitu rahmat bagi seluruh alam, penyelamat
kehidupan, kehormatan, dan aqidah. umat. Allah swt berfirman dalam QS
21:107, yang artinya “Dan tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad )
kecuali sebagai rahmat bagi sekalian alam.” Rahmat yaitu yang
mensejahterakan, termasuk di dalamnya menyehatkan.
Hal ini memastikan sistem kehidupan Islam (Khilafah Islam) akan
menjadi sebuah kekuatan politik yang akan mengalahkan kekuatan politik
AS.
Sesungguhnya, Allah swt telah mengharamkan segala sesuatu
yang membahayakan. Karena Rasulullah saw, bersabda, yang artinya “Tidak
boleh membahayakan (diri sendiri) dan membahayakan orang lain dalam
Islam”.(HR Ibnu Majah). Hadis ini soheh.
Upaya Khilafah Menghilangkan HIV/AIDS
Ada dua program yang dapat dilakukan untuk menuntaskan penularan
HIV/AIDS dalam bingkai khilafah Islamiyah, yaitu upaya preventif untuk
memutuskan rantai penularan agar kuman tersebut tidak menyebar pada
orang-orang yang sehat. Dan kedua, upaya kuratif, yaitu mengobati
masyarakat yang terinfeksi HIV.
a. Upaya Preventif
Upaya preventif yang dimaksud dalam hal ini adalah perubahan
perilaku yang liberal menjadi perilaku yang sesuai dengan syariat Islam.
Upaya ini penting karena transmisi (media penularan yang utama)
penyakit HIV/AIDS berkaitan erat dengan perilaku seks bebas dan
penyalahgunaan narkoba. Oleh karena itu pencegahannya harus dengan
menghilangkan segala bentuk praktek seks bebas dan segala hal yang
menfasilitasinya , yang meliputi media-media yang merangsang
(pornografi-pornoaksi), tempat-tempat prostitusi, club-club malam,
tempat maksiat dan pelaku maksiat.
Untuk itu, Departemen Luar Negeri Khilafah wajib membatalkan
segala konvensi internasional yang membentuk mindset permissive di
tengah masyarakat, dan menfasilitasi perilaku seks bebas dan
penyalahgunaan narkotika. Negara juga harus melepaskan diri dari
kebijakan-kebijakan lembaga-lembaga internasional dalam hal ini WHO,
UINAIDS, NODOC, karena terbukti semakin menguatkan ancaman bahaya HIV
dan seks bebas.
Sementara itu dalam Negeri, Khalifah menerapkan Islam secara
kaafah, yaitu sistem pendidikan Islam yang akan membentuk individu yang
berkepribadian islam; sistem ekonomi Islam yang mensejahterakan semua
orang serta menjauhkan dari segala perbuatan maksiat termasuk
bisnis/mafia prostitusi dan narkoba; menerap sistem pergaulan Islam yang
membersihkan masyarakat dari perilaku seks bebas dan akhlak yang
rendah; menerapkan sistem sangsi yang sesuai syariat yang membuat
masyarakat takut dan berhati-hati melanggar aturan Allah swt.
Karena itu Khalifah melarang perzinahan termasuk berduaan
tanpa ada kepentingan yang dibolehkan syara’ dan dijatuhkan sangsi bagi
pelanggarnya. Yang demikian karena Islam mengharamkan perbuatan ini,
sebagaimana hadist Rasulullah saw yang artinya “Jangan sekali-kali seorang lelaki dengan perempuan menyepi (bukan muhrim) karena sesungguhnya syaithan ada sebagai pihak ketiga”.
(HR Baihaqi). Adapun larangan perbuatan zina, Allah SWT sampaikan pada
QS 17:32, yang artinya “Janganlah kalian mendekati zina karena
sesungguhnya zina itu perbuatan yang keji dan seburuk-buruknya jalan”.
Segala cela bagi hadirnya perilaku homoseks (laki-laki dengan
laki-laki) dan lesbian (perempuan dengan perempuan) wajib ditutup.
Karena Allah swt mengutuk kedua perbuatan ini, sebagaimana firman Allah
SWT dalam QS 7:80-81, yang artinya “Dan (kami juga telah mengutus)
Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka:
Mengapa kamu mengerjakan perbuatan kotor itu, yang belum pernah
dikerjakan oleh seorangpun manusia (di dunia ini) sebelummu?
Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada
mereka ), bukan kepada wanita. Bahkan kamu ini adalah kaum yang
melampaui batas”.
Khilafah akan melarang pria-wanita melakukan perbuatan-perbuatan
yang membahayakan akhlak dan merusak masyarakat, termasuk pornografi dan
pornoaksi. Karena Islam melarang seorang pria dan wanita melakukan
kegiatan dan pekerjaan yang menonjolkan sensualitasnya. Rafi’ ibnu
Rifa’a pernah bertutur demikian, yang artinya “Nabi Saw telah
melarang kami dari pekerjaan seorang pelayan wanita kecuali yang
dikerjakan oleh kedua tangannya. Beliau bersabda “Seperti inilah
jari-jemarinya yang kasar sebagaimana halnya tukang roti, pemintal, atau
pengukir.”
Penyalahgunaan Narkoba termasuk sesuatu yang dapat menghilangkan akal
dan menjadi pintu gerbang dari segala kemaksiatan termasuk seks bebas.
Sementara seks bebas inilah media penting penyebaran virus HIV/AIDS.
Selain itu, penyalahgunaan narkoba itu sendiri juga menjadi media
penting penularan HIV/AIDS. Oleh karena itu, segala hal yang dapat
menjerumuskan setiap orang pada penyalahgunaan narkoba tidak
dibolehkan.
Dan Islam mengharamkan khamr dan seluruh benda yang memabukkan serta
mengharamkan narkoba. Sabda Rasulullah Saw , yang artinya “Setiap yang
menghilangkan akal itu adalah haram”(HR. Bukhori Muslim).
Karena aktivitas seks bebas, dan segala yang menfasilitasinya,
penyalahgunaan narkoba dan segala yang menfasilitasinya adalah haram
(aktivitas kriminal/kejahatan). Maka Islam telah menentukan sangsi bagi
pelakunya. Yaitu berupa hukuman rajam bagi pezina muhshan (sudah
menikah), dan hukum bunuh bagi pelaku homoseksual. Hal ini dengan
sendirinya akan memutuskan rantai penularan dari pengidap HIV pelaku
maksiat ini.
Adapun pezina ghoiru muhshan dicambuk 100 kali, dan penyalahgunaan
narkoba juga dihukum cambuk. Para pengedar dan pabrik narkoba diberi
sangsi tegas sampai dengan mati. Semua fasilitator seks bebas yaitu
pemilik media porno, pelaku porno, distributor, pemilik tempat-tempat
maksiat, germo, mucikari, backing baik oknum aparat atau bukan, semuanya
diberi sangsi yang tegas dan dibubarkan.
Pencegahan penyebaran kuman infeksi menular seksual seperti HIV/AIDS,
adalah dengan melaksanakan hukum rajam bagi pezina muhson oleh
Departemen Peradilan.
Khalifah juga mendorong dan menfasilitasi masyarakat
untuk hidup bersih. Membentuk mindset pentingnya kebersihan untuk
menghindari penularan HIV melalui program di berbagai media masa.
Secara praktis upaya promosi kesehatan ini dapat dilakukan oleh
Departemen penerangan Khilafah.
Khalifah (yang secara praktis dilakukan Departemen
terkait) menjamin penyediaan fasilitas umum yang sesuai syariat, sehat
dan bersih. Rasulullah saw bersabda, yang artinya:”Sesungguhnya
Allah Mahaindah dan mencintai keindahan, Mahabersih dan mencintai
kebersihan, Mahamulia dan mencintai kemuliaan. Karena itu, bersihkanlah
rumah dan halaman kalian, dan janganlah kalian menyerupai orang-orang
Yahudi” (HR At-Tirmidzi dan Abu Ya'la).
Demikianlah cara Khilafah melakukan upaya preventif.
b. Upaya Kuratif
Upaya pengobatan yang dilakukan haruslah mengikuti
prinsip-prinsip pengobatan yang sesuai dengan syariat Islam. Yaitu
antara lain tidak membahayakan, tidak menggunakan bahan-bahan yang
diharamkan, mendorong dan menfasilitasi penderita untuk semakin taqwa
kepada Allah swt.
Khalifah wajib memberikan pengobatan gratis bagi para
penderita HIV yang memiliki hak hidup. Selain gratis, juga mudah
dijangkau semua kalangandan dalam jumlah memadai. Karena kesehatan
termasuk kebutuhan pokok publik yang wajib dijamin pemenuhannya oleh
Negara. Hal ini sebagaimana sabda Nabi saw yang artinya, “Imam
(Khalifah) laksana penggembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.”
(HR Al-Bukhari).
Hanya saja haruslah dilakukan screening masal terlebih
dahulu untuk mengetahui pengidap yang tidak terlihat sebagai pengidap
HIV, sementara itu ia bisa menularkan kuman HIV dan kuman HIV sudah
“tersebar” di tengah masyarakat.
Upaya kuratif ini dilakukan oleh Departemen Kemaslahatan
Umat, Bidang kesehatan. Dalam hal ini dibutuhkan tenaga medis yang
profesional dibidangnya, seperti dokter, perawat, laboran, apoteker.
Departemen industri bidang farmasi dan peralatan medis harus
difasilitasi untuk memproduksi peralatan medis, obat-obatan yang
dibuthkan untuk pengobatan HIV. Industri farmasi juga harus didorong
untuk memproduksi sarana dan prasaran yang dibutuhkan untuk rapid test
(pemeriksaan cepat).
Khalifah juga wajib memotivasi danmenfasilitasi para ahli
di bidang biomedik, para dokter, ahli farmasi untuk menemukan obat HIV
yang hingga saat ini belum ditemukan obatnya. Karena sesungguhnya
setiap penyakit pasti ada obatnya. Rasulullah saw bersabda, yang
artinya “Setiap penyakit ada obatnya. Jika obat yang tepat diberikan, dengan izin Allah, penyakit itu akan sembuh.”(HR Ahmad dan Hakim).
Selain itu, Khaligah juga harus memutuskan dan mencabut
segala perjanjian yang bersifat mengebiri dan menjajah Indonesia di
bidang industri farmasi dan kesehatan
Dalam upaya pencegahan penyebaran penyakit pada orang yang
sehat, Khalifah wajib menyediakan rumah sakit atau tempat perawatan
khusus bagi pasien penderita HIV yang memiliki hak hidup. Seperti
penderita HIV akibat efek spiral (anak yang HIV karena orang tuanya
pengidap HIV). Dan selama masa perawatan pengidap penyakit diisolasi
dari orang yang sehat, sedemikian rupa sehingga penularan dapat dicegah.
Hal ini karena Rasulullah saw bersabda, yang artinya: “Sekali-kali janganlah orang yang berpenyakit menularkan kepada yang sehat” (HR Bukhari). Demikian pula sabda beliau, yang artinya “Apabila
kamu mendengar ada wabah di suatu negeri, maka janganlah kamu
memasukinya dan apabila wabah itu berjangkit sedangkan kamu berada dalam
negeri itu , janganlah kamu keluar melarikan diri” (HR. Ahmad, Bukhori, Muslim dan Nasa’i dari Abdurrahman bin ‘Auf).
Hanya saja selama diisolasi (dikarantina), haruslah dipenuhi
segala kebutuhan pengidap HIV . Dapat berinteraksi dengan orang-orang
tertentu di bawah pengawasan dan jauh dari media serta aktivitas yang
mampu menularkan. Juga harus diupayakan rehabilitasi mental
(keyakinan, ketawakalan, kesabaran) sehingga mempercepat kesembuhan dan
memperkuat ketaqwaan. Telah diakui bahwa kesehatan mental mengantarkan
pada 50% kesembuhan.25
Adapun untuk melakukan semua itu saat ini sangatlah mungkin.
Karena sesungguhnya Indonesia memiliki SDM yang unggul, misal ahli
biomedik, biologi molekuler, tekhnik kimia, kefarmasian yang berpotensi
menjadi pakar masa depan dalam pembangunan senjata biologi Daulah.
Pelaksanaan sistem pendidikan berdasarkan aqidah Islam akan mempercepat
proses penyediaan SDM yang dibutuhkan.
Jelas untuk melakukan dua agenda di atas dibutuhkan
anggaran yang besar. Pengelolaan baitul maal yang efektif yang
ditopang dengan berjalannya sistem perekonomian yang sesuai syaraiat
Islam, memungkinkan Negara mampu membiayai berbagai kebutuhan yang
diperlukan. Apa lagi Indonesia memiliki sumber kekayaan alam yang
melimpah, yang merupakan salah satu pos pemasukan keuangan Negara yang
sangat penting dan strategis.
Anggaran untuk pos jihad dapat diambil dari sumber
pemasukan baitul maal mana saja, yang meliputi Fa-i dan kharaj; harta
milik umum; dan zakat. Bahkan ketika kas baitul maal kosong, sementara
agenda ke dua tidak bisa ditunda, maka Khalifah bisa mengambil
tabaru'at dari kaum muslimin. Dan jika tidak mencukupi, Daulah
dibolehkan menetapkan kewajiban pajak dalam rangka memenuhi anggaran
yang dibutuhkan. Sedang anggaran untuk melakukan upaya preventif
dan kuratif salah satunya bisa diambil dari pos pemasukan pemilikan
umum.
Hanya saja kepentingan Indonesia hidup dalam sistem
kehidupan Islam bukanlah semata-mata karena dorongan menyelamatkan
generasi dari ancaman HIV, serangan senjata biologi AS dan agar terbebas
dari seks bebas. Akan tetapi ini adalah kewajiban yang tidak dapat
ditunda-tunda lagi, karena sesungguhnya kaum muslimin hanya boleh hidup
tampa khilafah paling lama tiga hari saja. Dan sekarang sudah 85 tahun
sang perisai tidak ada di tengah-tengah kita. Sungguh kita
merindukannya. Semoga melalui upaya ini Allah swt mendekatkan
pertolongan-Nya, memenuhi janjinya, kembalinya Khilafah Rasyidah ke dua
dalam waktu dekat. Amien ya Allah.
Allahua'lam.
Daftar Pustaka
- Hawari, D. 2006. Global Effect, HIV/AIDS, Dimensi Psikoreligi. Balai Pustaka-FKUI. Jakarta.
- Weller S, Davis K. Condom effectiveness in reducing heterosexual HIV
transmission (Cochrane Review). In: The Cochrane Library, Issue 2,.
Chichester, John Wiley & Sons. UK, 2004
- Brooks, GF et al. Medical Microbiology.Ed.20th. Terjemahan.EGC:Jakarta, 1995.
- Murray, P.R., Rosenthal, K.S., Pfaller,M. A. Medical Microbiology, fifth edition. Elsevier Mosby. 2005.
- Holmes KK et al.Sexual Transmitted Diseases.Ed 3th. New York:McGraw-Hill, 1999.
- Direktorat Jenderal. P2MPL-DepKes. Pedoman Nasional Perawatan,
Dukungan dan Pengobatan bagai ODHA. DepKes RI. Jakarta, 2003.
- Tjokronegoro A, Djoerban Z dan Matondang C. S. Seluk Beluk AIDS
yang Perlu Anda Ketahui. Balai Penerbit FKUI. Jakarta, 1992.
- Aditiawati, P. HIV/AIDS. Diskusi HIV/AIDS. ITB. Bandung, 2006. (handout).
- Djauzi,S dan Djoerban, Z. Penatalaksanaan Infeksi HIV di Pelayanan Kesehatan Dasar.Balai Penerbit FKUI. Jakarta,2002
- Anomalous Fatigue Behavior in Polysoprene," Rubber Chemistry and Technology, Vol. 62, No:4, Sep.-Okt. 1989.
- Lytle, C. D., et al., "Filtration Sizes of Human Immunodeficiency
Virus Type 1 and Surrogate Viruses Used to Test Barrier Materials,"
Applied and Environmental Microbiology, Vol. 58, No: 2, Feb. 1992.
- Vesey, W.B., HLI Reports, Vol. 9, pp. 1-4, 1991.
- Collart, David G., M.D., op. cit.
- CDC. Global Summary of The AIDS Epdemic December 2006.
- Anonim. Apa sih HIV/AIDS itu? (booklet edukasi HIV/AIDS). The Global Fund. Jakarta, 2005
- Anonim. IMS itu epong sih ne? The Global Fund. Jakarta, 2005
- Priohutomo S. Kebijakan Pengendalian HIV/AIDS. Dirjen P2PL-Depkes
RI. Seminar TB-HIV Sahid Jaya Hall. 11-12 Desember 2006.(hand out).
- AIDS Setelah Dua Dekade. Ledakan HIV/AIDS sudah terjadi di Indonesia.Republika. 27 Mei 2007.
- Hawari, D. 2006. Global Effect, HIV/AIDS, Dimensi Psikoreligi. Balai Pustaka-FKUI. Jakarta.
- Bkkbn-online.” KASUS HIV/AIDS DI INDONESIA MENINGKAT TAJAM”(www.bkkbn.or.id/18/11/09)
- Kondom Bukan Solusi Melawan HIV: Paus”(www.acehkita.com/19/03/09).
- (Republika, Ahad 27 Mei 2007).
- An-Nabhani. An Nidzomul Ijtima’i (terjemahan:Sistem Pergaulan Dalam Islam), 2001.
- Al-Maliki A. Sistem Sangsi Dalam Islam. PTI. Bogor, 2002.
- .Struktur Negara Khilafah.HTI.2007
sumber : http:
//lailagizi-fkm.web.unair.ac.id