Apakah ODHA yang diobati tidak lagi menular?
Beberapa
pakar terkemuka Swiss setahun lalu mengeluarkan pernyataan, orang dengan
HIV/AIDS (ODHA) yang memakai terapi antiretroviral (ARV) secara patuh
boleh berhubungan seks tanpa kondom.
Secara dasar, kesan tersebut di atas dapat diterima oleh para ODHA.
Tapi apakah kesan ini benar? Apakah ketersediaan ARV secara universal
pada orang yang terinfeksi HIV dapat mencegah penularan pada orang lain?
Pernyataan tersebut kontroversial, dan dapat menimbulkan kesalahpahaman
bahwa AIDS tidak masalah lagi.
Pernyataan ini menciptakan keraguan dan menimbulkan banyak pertanyaan
di kalangan ODHA di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Yang paling
terpengaruh adalah mereka yang ingin mendapat keturunan dengan pasangan
yang tidak terinfeksi HIV. Memang sebelum pernyataan dikeluarkan, banyak
ODHA melakukan hubungan seks tanpa kondom agar bisa hamil. Anggapannya
adalah bahwa risikonya sangat rendah. Apakah kita akan membiarkan hal
ini terus dilakukan, atau sebaiknya kita mengusulkan untuk menghindari
risiko ini?
Untuk membahas pernyataan, keraguan, dan dampaknya, Yayasan Spiritia
menggelar simposium setengah hari berjudul ‘Pengobatan HIV sebagai
Pencegahan’. Simposium yang diselenggarakan baru-baru ini di Unika
Atmaja JakARVa menampilkan Prof. DR. Dr. Zubairi Djoerban, SpPD, KHOM,
dari sisi pengobatan dan Dr. Pandu Riono, MPH, PhD. (Ketua Bidang Kajian
Penanggulangan Penyakit Menular IDI) dari sisi pencegahan.
Kedua pembicara itu juga membahas pendapat dari beberapa pakar WHO
tentang tes HIV secara universal dan ARV yang dimulai segera setelah
infeksi didiagnosis. Jika ini dijalankan, prevalensi HIV di dunia dapat
dikurangi menjadi di bawah 1% dalam 50 tahun.
Saat ini di Indonesia diperkirakan ada 270.000 orang terinfeksi HIV.
Tidak jelas berapa di antaranya yang sudah mengetahui dirinya
terinfeksi, tetapi tidak lebih dari 15%.
Yang diketahui dapat dijangkau dan didorong mengubah perilaku untuk
memastikan agar mereka tidak menularkan HIV kepada orang lain. Ini
dikenal sebagai “HIV Stop di Sini”. Ada bukti bahwa mengetahui dirinya
terinfeksi HIV merupakan salah satu cara pencegahan yang paling efektif.
Sebaliknya, 85% yang tidak tahu dirinya terinfeksi tetap berperilaku
berisiko menulari HIV, tidak menyadari bahwa mereka akan menempatkan
pasangannya, dan mungkin juga bayinya, dalam keadaan berisiko terinfeksi
juga. Akhirnya, ada kemungkinan mereka meninggal karena AIDS tetapi
penyebabnya tidak terdiagnosis.
Efektivitas ARV
Menurut Prof. DR. Dr. Zubairi Djoerban, SpPD, KHOM dari Pusat Pelayanan Terpadu HIV RS Cipto Mangunkusumo, ARV amat efektif untuk pencegahan. Dia menjelaskan, pada kelompok yang minum ARV, tidak ada pasangannya yang tertular HIV.
Menurut Prof. DR. Dr. Zubairi Djoerban, SpPD, KHOM dari Pusat Pelayanan Terpadu HIV RS Cipto Mangunkusumo, ARV amat efektif untuk pencegahan. Dia menjelaskan, pada kelompok yang minum ARV, tidak ada pasangannya yang tertular HIV.
Jumlah virus (viral load) merupakan faktor prediksi utama penularan
HIV. Dr. Zubairi mengungkapkan, untuk ODHA dengan jumlah virus kurang
dari 1.500 copies of HIV-1RNA/ml, amat sedikit kemungkinannya bisa
menularkan HIV.
Dengan menggunakan ARV, kata Zubairi, prevalensi HIV pasangan turun
dari 10,3% (1991-1995) menjadi 1,9% (1999-2003; P = 0.0061). ARV-nya,
ODHA yang minum ARV, penularan HIV turun 80%.
Dijelaskan, penularan HIV/AIDS lebih sering terjadi dari laki-laki ke
perempuan, dan penularan juga berbanding lurus dengan jumlah virus.
Selain itu ARV mencegah penularan heteroseksual.
Menurut Dr. Zubairi, ARV harus diberikan sebagai paket pengobatan,
bersama-sama dengan profilaksis co-trimoxazole, manajemen infeksi
oportunistik, tatalaksana komorbiditas, pengobatan nutrisi, dan
pengobatan paliatif.
Ada beberapa upaya pencegahan penularan yang dijelaskan Dr. Zubairi.
Di antaranya upaya biomedik yang berupa ARV, PMTCT, sunat, sirkumsisi,
kondom, dan pengobatan penyakit menular seksual.
Selain itu, perlu juga ada upaya struktural dalam pencegahan. Upaya
tersebut meliputi ekonomi, budaya, pendidikan, hukum, kesetaraan gender,
perubahan perilaku, dan positive prevention.
Sementara, menurut Dr. Pandu Riono, MPH, PhD, Ketua Bidang Kajian
Penanggulangan Penyakit Menular IDI, pengobatan ARV harus dilakukan
sedini mungkin. Obat ARV perlu dimulai sedini mungkin karena
progresivitas penyakit terjadi setelah banyak CD4 yang hancur . ARV
dinilainya menekan replikasi HIV dan viral load.
Dalam pandangannya, Dr. Pandu mengemukakan adanya mitos bahwa kalau
viral load atau jumlah virus tidak terdeteksi dengan pemeriksaan yang
sangat sensitif, maka orang tersebut tidak menularkan HIV lagi. Namun,
pada kenyataannya, masih ada persistent replication in lymphoid tissue
(sekitar 20-40%). Sehingga, ada fenomena blips pada grafik kadar HIV-RNA
plasma.
Kenapa masih terjadi persistent replication? Setidaknya, kata Dr.
Pandu, ada beberapa faktor yang berpengaruh, yakni intermittent
non-adherence, variasi antarindividu pada metabolisme obat ARV, ada
interaksi obat, dan regimen ARV yang kurang dapat diandalkan. Sebagai
konsekuensinya, salah satunya reservoar HIV akan meningkat dalam waktu
singkat.
Lebih jauh dijelaskan, kadar HIV di plasma tidak selalu berhubungan
linear dengan kadar HIV pada cairan seksual yang dikeluarkan kelenjar
genitalia. Ada yang ‘undetectable viral loads’ pada plasma darah, tetapi
kadar HIV pada cairan seksual cukup tinggi dan mampu menularkan.
Dr. Pandu mengutip pendapat David Wilson dkk dari UNSW, Sidney, yang
menyatakan bahwa tidak benar ada zero transmission. Pada heteroseksual,
tetap ada low transmission, bahkan pada homoseksual lebih tinggi.
Dalam paparannya Dr. Pandu menyimpulkan, kemajuan pengobatan ARV
membuka harapan baru bagi penanggulangan HIV/AIDS. Namun, ARV bukanlah
pilihan untuk pencegahan di populasi, apalagi digunakan sebagai
satu-satunya cara untuk menekan laju epidemik.
Menurutnya, strategi mengubah perilaku adalah cara yang utama. Namun sayang, strategi ini belum ditempatkan sebagai cara utama.
0 comments:
Posting Komentar
Berbagi pengalaman suport karena Allah